Sennheiser Momentum True Wireless 3, Earbudnya Audiophile

Comment
X
Share
Share with your friends

Jika anda mulai membaca artikel ini, maka kami yakin anda adalah seorang penikmat musik. Maka telinga anda yang sepasang itu tentu sudah lama  diajak melahap aneka musik oleh para pembuat alat dan software lagu. Jika memang musik yang anda dengarkan itu hanya untuk bersenang-senang, maka anda adalah seorang music lover. Tetapi bila disela kesenangan itu anda juga meluangkan waktu, juga untuk mengamat-amati semirip apakah penampilan musiknya dengan bila kita dengarkan langsung di panggung atau saat sang artis melakukan perekaman di studio, maka sesungguhnya anda (juga) adalah seorang audiophile, atau tengah menimba ilmu untuk menjadi audiophile. Dan untuk itu, perangkatnya  harus yang mendukung untuk ke itu.

Disini, Sennheiser membidani kelahiran True Wireless 3 (TW 3) yang masuk di seri Momentum. Earbud ini didapuk untuk dapat memuaskan pecinta musik yang ingin atau sudah menjadi seorang audiophile – yang gemar menilai panggung suara.Redaksi menerima earbud ini di awal Nopember 2023 dari importirnya, PT Inti Omega Teknikindo –  dan baru kami selesai menuliskannya di mid Nopember 23 ini.

Sekilas Profil TW 3
Mari lihat profil earbud seharga 4.5 jutaan Rupiah ini. Dalam hal teknologi transducer, dia punya yang namanya TrueResponse yang membuat suaranya serasa punya otot kuat. Dia punya codec aptX Adaptive yang membuatnya bisa lebih detil dalam mereproduksi rekaman. Ini adalah headphone in ear Bluetooth untuk mendengar musik dan menerima panggilan telpon. Untuk kedua fungsi ini, dia telah berbekal  ANC (Active Noise Cancelling).
Koneksinya multipoint(sehingga bisa terhubung ke dua perangkat). Sudah mengantungi sertifikasi IPX4 yang artinya dia tahan kalaupun terkena  cipratan air. Ada fasilitas  Qi charging yang cepat dalam menchargenya. Batereinya tahan sampai 28 jam –  ditambah 21 jam dari casingnya. Ada built in equalizer , termasuk Bass Boost, dan Sound Personalization. Warnanya hitam dan  terbilang kompak.

Tampilan Fisik
Mari buka kemasannya. Di dalamnya ada satu boks kecil berwarna hitam keabu-abuan, yang menjadi rumahnya earbud. Kotak kecil ini punya indikator baterei yang menyala merah bila earbud kosong, dan hijau jika penuh. Ada sepasang earbud. Lalu ear adapter set (ukuran XS/S/M dan L). lalu Ear fin set (S/M/L). Charging case dan kabel USB-C, serta buku manual.  Apa saja keistimewaan earbud ini?
Pertama, di fiturnya, ada Active Noise Canceling (ANC) yang bisa dihidup-matikan, juga Adaptive Noise Cancelling dan Anti Wind. lalu punya aplikasi Smart Control yang bisa didapatkan di Playstore dan Applestore. Aplikasi ini punya fitur Sound Zone, untuk bisa kita tandai referensi musik seperti apa di area dimana kita berada saat itu. Bluetoothnya versi 5.2 dan sudah Qualcomm aptX Adaptive.

Karena untuk Audiophile
Sebelumnya, mari kita merumpikan tentang audiophile. Audiophile adalah sebutan untuk orang yang sangat mencintai dan mengapresiasi musik, dan saat mendengar musik, gemar menganalisa tentang panggung yang digambarkan di dalam rekaman yang dia dengar, sesuai dengan bagaimana kesan performa musik yang dia tangkap dan lalu diterjemahkannya. Seperti apa penilaiannya, banyak tergantung juga pada bagaimana preferensi dan selera musiknya.  Ini membedakan dirinya dengan seorang ‘music lover’.
Kata ‘audiophile’ seringkali diasosiasikan dengan kata ‘high end’ audio. Perangkat kelas high end diyakini sanggup memuaskan dahaga seorang audiophile, karena perangkat ini dibuat dengan ketelitian, keakuratan dan kualitas yang tinggi, dengan memakai bahan atau komponen yang sangat baik dan pilihan, lalu diramu dengan sangat baik hingga hasilnya akan sangat baik sesuai harapan audiophile. Maka produk high end audio dibuat tidak masal, tetapi banyak yang ‘made by order’. Setelah dipesan baru dibuat. Ini membuat harganya tinggi/mahal.

Walau harganya super tinggi, ada saja yang beli. Entah karena buah dari tingginya apresiasi terhadap musik atau sekedar ingin punya/demi gengsi. High end audio lebih merujuk kepada kualitas dan kemampuan menangkap kualitas itu. Jadi, high end perangkatnya (yang bisa berarti berharga super tinggi) juga high end di telinganya (kemampuan menangkap suara berkualitas yang dikeluarkan speaker atau headhonenya).
Karena digadang-gadang sebagai headphonenya audiophile, maka W 3 tentu kami harapkan dapat kami pakai ‘melihat’ panggung atau studio rekaman, karena kami duga dia mampu memperlihatkan  apa saja yang menjadi kriteria penilaian high end audio, seperti bagaimana tonal balance, depth, separasi, koherensi, detil dari sebuah rekaman. Kadang dimulai dengan bagaimana rasa bassnya,  apakah punya definisi, dan seberapa deep bassnya. Ya, seorang audiophile memang sedikit lebih ‘cerewet’ dalam menyimak musik dan tidak sekedar puas bila musiknya sudah nikmat didengar (yang notabene jadi keutamaannya seorang music lover).
.
Pengujian
Sebagai pemanasan telinga dan player serta earbud, kami gunakan TW 3 dengan memasangkannya ke telinga lalu memutar sedikit ke bawah, lalu ke atas. Eratlah sudah dia. Kami putar Payung Teduh “Untuk Perempuan” di player Astell & Kern SE 100. Sebuah rekaman dari file WAV. Lagu ini termasuk yang kami sukai, begitupun rekamannya yang terasa bersih dan punya bobot. Kami pilihkan untuk pengujian ini karena biasa mendengar sehingga familiar tentu.

Beralih ke Mike Dawes di Somewhere Home (album technical IASCA CD), di format WAV 16 bit.44.1 khz. Tampilannya hidup. Senang juga mengamati kelincahan jari jemari Mike di snar gitarnya, kadang halus kadang bermain tajam. Inilah menariknya, jika kita suka suara gitar, bolehlah anda menyimaknya. Juga ketika gitar dimainkan cepat di Boogie Shred dari Mike, terasa musik tidak kedodoran. Tampil lugas.

Lanjut, mari dengar Kerontjong Moritsko dari penyanyi Nuning yang diiringi Gesang Kerontjong Group (album XRCD Bengawan Solo). Ini lagu juga penulis sukai. Kenapa, karena kita bisa menikmati aneka instrumen musik saling bersahut-sahutan, berlantun, dan mudah kita mengamatinya satu persatu di sistem yang sudah mapan, karena separasinya yang baik. Di TW 3 kami bisa merasakan sebuah penataan musik yang bagus. Permainannya tersimak punya kontrol baik. Mudah sekali merasakan kesan instrumen yang mengayun. Ayunan ini dapat membuat kita tanpa sadar menggerak-gerakkan kaki. Dengar seruling yang ditiup keras, tidak tajam berisik malah menguratkan sebuah kesan kedamaian. Terasakan sebuah suguhan musik yang dimainkan secara kompak dan memunculkan sebuah harmoni, berpadu manis antara vokal dengan instrument musik. Coba anda amati sajian ini dengan cermat. Penulis yakin, anda bisa dibuat terlibat dengan musiknya, dan membuat kepala anda bergoyang goyang dengan kocokan. Penulis sebenarnya tak terlalu suka genre keroncong, tetapi saat pertama kali dengar lagu ini, jadi tertarik juga menyimak.

Mari kita dengarkan vokal. Vokal tentu paling akrab dengan telinga kita, karena kita dengar keseharian. Seringkali seorang audiophile bila tengah main ke rumah temannya, ingin diputarkan rekaman yang kental vokalnya. Lalu yang kental instrumen pianonya (karena dia tahu, nada piano paling lengkap. Maka bila di piano saja sudah benar, diyakini instrumen lain pasti sudah benar bunyinya). Kami putar Angel Of Harlem – The Persuasions Sing U2. Ini adalah sebuah track acapela (nyanyian tanpa alat musik). Kita jadi penasaran menilai, berapa penyanyinya. Inilah keasikan menilai rekaman, melihat dengan telinga.Kami yakin ada 5 penyanyinya. Bisa kami perkirakan bagaimana posisi mereka bernyanyi dengan berada di satu deret. Inilah yang menarik dari menilai sebuah rekaman, kita bisa memperkirakan atau bahkan memastikan pinpoint imaging, posisi per instrumen dan vokalis. Di rekaman bernuansa vokal lainnya, kami dapat merasakan hawa rekaman dan kedekatan dengan vokalisnya, seperti kala memutar Scooty di album AYA Authentic Audio check.

Rekaman yang kami putar diatas dibuat dengan baik, menurut ukuran audiophile(masih sebatas dikatakan baik, dan belum lagi dikatakan standar karena high end audio belum punya standar). Di titik ini, sempat terpikirkan tentang bagaimana kita tahu bahwa rekaman tertentu itu adalah kelas audiophile dan layak didengar bila kita ingin menguji alat kita atau menikmati ‘panggung’ yang real itu? Salah satunya, ya pilihlah album yang ada tulisan ‘audiophile’nya. Inspirasi akan di atas muncul ketika kami dengar lagu Girl From Ipanema, yang dibawakan Susan Wong. Penulis tahu ini untuk audiophile karena lagu yang dinyanyikan Susan Wong ini ada di album berjudul Audiophile Female Voices 2. Dan walau kami anggap warna suara Susan Wong itu umum saja(tidak unik, apalagi lagu-lagu yang dibawanya bukan lagu sendiri), tetapi karena kami dapat ‘melihat’ panggung yang ditampilkan, misalnya dengan tonal balance yang baik, kami yakin ini memang rekaman audiophile. Susan bahkan membuat kami jadi ikut bernyanyi. Nah, demikianlah –  sebuah  rekaman untuk audiophile itu, bila disampaikan oleh perangkat yang baik, musiknya kian bisa melibatkan penikmatnya.

Mari pilih album audiophile lain, seperti album Various – The Ultimate Demonstration Disc : Chesky Records Guide to Critical Listening. Salah satu lagunya kami pilih, If I Could Sing Your Blues dari Sara K. Lagu ini sering dikatakan menarik untuk bisa melihat kedalaman panggung. Terompet disini berada sekitar 3 meter dari mikrofon. Gitarnya terasa intim dengan tonal balance yang warm. Kedalaman panggung dapat tergambar disini, yang memang telah menjadi maksud dari sound engineernya. Dapatkah anda merasakan kedalaman panggung ini di sistem audio anda atau teman anda?

Audiophile itu rata rata penuntut. Sebuah rekaman lagu yang dia dengar di sistem A misalnya, harus dapat menampilkan ini itu, seperti yang dia pernah temukan di sebuah sistem audio sebelumnya(sistem B). Ini juga hinggap di diri penulis ketika melahap He Xiu Tan di Earth Drums (dari album The Dali CD ol 4). Kami harap pukulan perkusinya harus sampai bawah sekali, tanpa kehilangan pukulan (punch) dan solidnya. Sementara di sisi lain, berharap ada plus plusnya, yakni ditampilkan dengan cepat dan punya definisi jelas. Tidak ‘mbleber’ apalagi berekor. Dan syukurlah, ini kami dapati di TW3.

Lagu Yogyakarta dari KLA Project. Tentu sudah sangat sering kita dengar dan boleh jadi sudah membosankan. Dan sudah tentu, belum ada yang meremasternya di yang sekualitas high end audio. Lagu ini tanpa sengaja terputarkan karena memang ada di daftar putar SE 100 ini. Kami hanya ingin mengatakan satu hal saja disini, pemutar ini jujur mereproduksinya biasa saja. Artinya, dia tidak menambah bumbu agar tampil impresif. Natural saja. Ini agak berbeda dengan bila kami putar dengan earbud dan headphone lain, pernah ada yang membuat lebih impresif misalnya dengan gebukan drum yang lebih gemuk.

Sekarang, mari dengar klasik, genre musik yang sering orang katakan ‘njelimet’ dan sukar dicerna. Sulit dicerna juga karena acapkali terkesan suaranya teknikal/ tajam. Kami pilihkan Got Du Haast dari Margit Beukman di Incredible Music 3 album. Kami cari data lagu ini dan berkesimpulan, direkam dengan sangat baik. Dan ini benar. Dia dapat ditampilkan dengan indah. Setiap instrumen di orkestra ini pada kompak bernyanyi. Dan menariknya, kami bisa hanyut terbawa. TW 3 tak terkesan teknikal, atau kering. Ini membuat penulis tertarik untuk menyimak lagi deretan musik klasik di daftar main kami.
Kami putarlah klasik lain, Vivaldi Concerto in D minoropus 4 no. 8 – allegro yang ditampilkan dengan kesan riang dan bertempo cepat, tetapi nikmat dengan kesan ayunannya. Violin yang dimainkan keras, tak terasa nyelekit, tetapi terasa ‘hangat’. Seperti kami tengah menikmati suara tabung. Track ini bolehlah digunakan jika kita ingin mengenal musik orkestra.
Lalu pindah ke album The Dali CD- volume 3, WDR Symphony Orchestra Clogne/Grieg: In The Hall of the Mountain King. Keduanya ini rekaman orkestra klasik yang tadinya kami duga akan sulit diremah, tetapi ternyata mudah. Mudah dinikmati.

Mari simak yang nuansanya ‘main gebuk-gebukan’. Kami putar Get Low yang merupakan soundtacknya film Frious 7.lalu soundtracknya film Terminator, dari Great Fantasy Album – Cincinnati Pops (dari CD IASCA Sound Quality Ref CD 2016) yang juga erat nuansa orkestrasinya. Disini kami temukan bassnya kurang tight, terasakan sedikit kompresi, kurang berotot dan kurang menggambarkan nuansa seram. Ternyata, rekamannya adalah sekualitas MP3, walau yang bitnya sudah yang tinggi. Terasakan kompresi bila kami geber di volume tinggi (maklum, dengar klasik ya perlu di level tinggi). Suara kurang solid seperti bila mendengar sistem home stereo yang speakernya kekurangan daya dari power amplifiernya.Inilah yang di’potret’ oleh TW3.
Ngerock ? coba saja Fireball nya Deep purble di album Gillian First Hits. Direpro cukup cepat, dia bermain seperti effortless.

Kesimpulan
Earbud ini mengajak orang untuk menikmati rekaman musik apa adanya, walau dia diberikan fasilitas untuk melakukan EQ. Jadi belajar menjadi penikmat musik yang suka mengamati panggung, mengamati kualitas rekaman dan mengamati bagaimana kesan dengar.
TW 3 menampilkannya dengan imbang di tonalnya, tak terasa salah satu instrument yang tampil lebih dominan dari yang lain
Dia dapat digunakan untuk penggunanya belajar kian mengapresiasi musik dengan menjadi seorang analis rekaman. Menganalisa panggung, dari aneka kriteria pendapat/penilaian pribadi, seprti tonal balance, fokus, dan lain lain sebelum kemudian menilai musikalitasnya. Dari sini pehobi audio ini akan tergerak untuk mengasah jam dengarnya, mencoba membanding-bandingkan seperti earbud ini dengan earbud biasa.

Read Also

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *