Session Dinamik Di Ruang Audio Joko

Comment
X
Share
Share with your friends

Sekitar tiga tahun lalu, Auvindo berkunjung ke ruang audionya Bapak Joko ini, dan melihat speaker AudioNote-nya merasa perlu untuk  berdekatan dengan dinding  demi mendapatkan bass yang diinginkan, seperti banyak yang dilakukan pehobi dengan AudioNote-nya.  Tetapi saat berkunjung kembali (01/10/2025),  speaker ini menjauhi dinding.  Kami dapati sebuah sajian musik dengan tatanan panggung yang tidak saja rapi, tetapi kaya akan bass yang tampil beringas tetapi terkontrol. Menurut Joko, ini lebih karena dipasangnya panel akustik, misalnya dengan menempatkan bass trap di kedua sisi pojok ruang, menaikan tampilan mid bass.

 

Mari kita lihat sistem Joko. Dia memakai speaker AudioNote AN-J, C player EAR (yang saat kunjungan, kami sempat merasakan juga CD transport  AudioNote Transport CDT 1 dengan DAC 2.1 Signature). Pre amplifier yang digunakan adalah AudioNote M8 dan power amplifier Quest. Semua kabelnya memakai full AudioNote. Untuk turntable, memakai brand VPI dengan jarum van den hul Colibri.

Di Awal, Bicara Keakustikan

Jadilah kemudian di awal, sambil dengar musik, kami mengobrol tentang keakustikan ruangan. Maklumlah, keakustikan ruang memang sangat berpengaruh untuk ruang stereo, bahkan ada pehobi audio yang merasa putus asa lantaran kurang mampu membenahi keakustikan ruangannya. Ya, secara umum, akustik memegang peran, bahkan  bisa saja sampai 60 persen terhadap tampilan suara. Joko merasa kini suaranya tampil lebih kontrol.

Ruangan Joko jika dilihat dari dimensinya yang bujur sangkar, memang kurang ideal – terlebih ada kaca di belakang system(yang kemudian ditutup tirai berbahan kain) dan  juga ada pintu. PR-nya cukup banyak. Pertama, karakter khas ruangan bujursangkar  dinilai negatif.  Ukuran seperti ini dikenal suka menghilangkan suara di frekuensi tertentu, dimana frekuensi ini bisa berulang ulang dan bertumpuk tumpuk.

Karakter bujur sangkar dikatakan punya sifat statis karena ukuran panjang dan lebarnya yang sama, yang dapat menciptakan resonansi yang kuat dan potensi masalah akustik seperti gelombang berdiri (standing waves) pada frekuensi tertentu, menyebabkan suara terdengar terpusat dan “berdengung” atau tidak merata. Inilah yang kemudian tentu membuat Joko merasa perlu memasang panel akustik.

Pemasangan panel-panel  keakustikan ini dilakukan bertahap, mulai dari bagian bawah, lalu ke (dinding) tengah, dan akhirnya di sisi atas (diffuser di ceiling). Syarat untuk lanjut pemasangan, tentu saja didahului dengan sang empunya ruangan yang merasakan sistemnya improve. Panel yang didapatnya dari Hendrik (pernah memiliki galeri Arena  di mal Mangga dua) ini diyakini Joko membawa perubahan suara.

Inilah obrolan awal Auvindo bersama Joko, ketika main ke rumahnya di kawasan Bintaro, Jakarta. Kami  kemudian bicara banyak hal, misalnya  tentang sebuah turntable Triangle Art Joko yang baru saja diperbaiki spindle-nya lantaran habis ketiban bahan akustik ke area platter, membuat spindlenya sedikit bengkok. Syukurlah sekarang turnable seberat 30 kilogram ini kini sudah baik.

Joko termasuk pehobi yang suka bersosialisasi, mengajak  teman menyimak musik bareng. Seperti beberapa hari lalu dia mengundang mengundang pehobi senior seperti Bing Wijaya, Danny Chairil  dan Ivan. Mendengar bareng dan sempat mencoba kabel Magic Audionya.

“Kita kan suka dengar audio. Bila tiap hari dengar musik, itu kita jadi ada hiburan. Kita juga jadi bisa sharing dengan teman. Termasuk saat membenahi keakustikan”kata Joko

Meluncurlah lagu pertama dari Tsai Chin. Mengayun dan meliuk liuk. Mungkin untuk pemanasan semata, karena yang kami tahu Joko termasuk pehobi yang lebih condong ke musik dinamik. Dan AudioNote ini termasuk yang hebat dalam memanjakannya. Sistem ini memakai kabel full AudioNote. Mengingatkan kami juga akan model model kabel mahalnya AudioNote seperti model Sootto dan Sogon

Lagu kedua, tak tahu judulnya, karena semua tulisannya Mandarin. Tetapi anda pasti tahulah lagu pertama di album ini(lihat foto bawah ini). Menampilkan nuansa hidup yang dimunculkan dari obrolan yang riuh seperti di sebuah pasar.

Berikutnya, Red Hot Chili Paper,  lalu Rolling Stone – menggambarkan memang lagu lagu audiophile itu hendaknya ada di setiap genre, dan sepanjang bisa dinikmati, ayo sajalah diputar. Terlebih bila lagu ini mengingatkan kita akan kenangan dahulu.  Beberapa rekaman tampil indah khususna di midbass, dengan tatanan panggung yang lebar, serta penataan yang rapi.

Lagu lagu seperti album CD-nya Bohemian Rhapsody kami rasakan tampil dengan daya melibatkan yang baik. Walau digital, tetapi terasa empuk dan tak menyengat telinga walau digeber di volume tinggi. Ya,  menikmati elemen yang sedikit nge-beat seperti  Another One Bites The Dust tentu perlu ngegas, kecuali di track  Somebody to Love, perlu merasakan gemulainya system. Di track yang dinamik, terasa bassnya tampil kencang, tidak seperti bass yang ditampilkan sebuah system berpower 8 watt.

Pindah ke Madonna di album yang kavernya di bawah ini.   Saat salah satu track favorit kami,  Like A Prayer, tampilah  sebuah kesan suara holografik *), tetapi di sisi lain terasa ini adalah suara quadraphonic *). Bayangkan, lagu dengan rekaman biasa, dan cukup jadul, bisa menampilkan kesan panggung yang sangat lebar, mengelilingin pendengar,  bahkan terkesan segaris dengan titik duduk kami ke kiri dan kanan.

Setelah berpuas diri dengan teknologi digital melalui CD, bergantian kemudian dengan analog, dimana Joko memutarkan satu dua album vinyl yang dia koleksi. Joko hanya memakai format CD dan vinyl, tidak main streaming. Ditanya kenapa tidak berstreaming ria, Joko hanya menjawab singkat, “Jauh pak”.  Mungkin maksudnya, roh rekamannya jauh lebih nyata didapatnya dari kedua format ini ketimbang streaming (main file).

Pertama, kami memakai CD player (foto atas), lalu kami ganti dengan CD transport  AudioNote (foto bawah), dan ternyata tampilan panggung lebih improve. Musikalitasnya lebih baik

 

Inilah catatan singkat Auvindo dari kunjungan ke ruang audio Joko di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan. Jika mau diceritakan detil, akan memakan waktu Panjang untuk anda membacanya, karena sempat 1.5 jam kami disuguhi musik.  Sebuah tampilan yang menarik dan bikin betah duduk, khususnya jika kita menyukai rekaman rekaman dinamik.Tampilannya nyata, seperti kita sedang duduk tepekur menyaksikan penyanyinya di depan kita. Ah, kami lupa minta diputarkan tembang ‘kuda’nya Pink Floyd yang sering diputar untuk menggambarkan lebarnya nuansa panggung dalam sebuah rekaman.

Pak Joko (kanan), kian happy dengan sistem dan ruangan audionya kini.

 

*) Suara holografik : Ini adalah efek panggung bunyi tiga dimensi yang membuat pendengar seolah merasakan posisi instrumen dan vokal hadir nyata di ruang dengar. Suara terasa seperti di belakang sistem karena tata letak speaker, akustik ruangan, dan kualitas rekaman menciptakan ilusi kedalaman sehingga otak menangkap sumber bunyi seolah berasal dari ruang yang lebih jauh ke belakang panggung suara.

 

*) Suara quadraphonic : Ini adalah efek ruang dengar di mana panggung suara terasa tidak hanya di depan, tetapi juga mengelilingi pendengar seolah ada empat arah sumber bunyi. Efek ini tercipta dari perpaduan resolusi tinggi, imaging presisi, dan keseimbangan kanal stereo yang mampu menciptakan ilusi ruang akustik tiga dimensi. Suara bisa jadi sangat lebar karena gelombang dari speaker berinteraksi dengan akustik ruangan dan diproyeksikan dengan tepat, sehingga pendengar merasakan dimensi ruang yang jauh melampaui batas fisik letak speaker.

 

 

 

Read Also

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *