Review Pagi : Menyimak Sajian ZMF Caldera

Comment
X
Share
Share with your friends

Jalan jalan pagi hari ini, main ke kawasan Senayan. Disitu ada satu mal yang isinya banyak mengeksplorasi hobi-hobi berbeda. Ada untuk hobi naik gunung, manjat tebing, mengumpulkan karakter film, model mobil, fotografi, dan lain lain hingga musik, baik audio maupun instrumennya.   Mampirlah kami ke Beyond The Music, yang galeri tempatnya banyak headphone dari yang kelas atas hingga yang kelas biasa, juga aneka asesorinya serta perangkat pendukungnya. Satu ‘mahluk’ berdisain cukup unik, membuat gatal telinga untuk dicicipi, ZMF Caldera.

Ini adalah headphone planar magnetic pertama dari ZMF. Ya, dia memakai driver planar, yang katanya dipilih oleh sang desainernya lantaran percaya bahwa driver driver jenis ini lebih mudah mendapatkan suara yang dinamik, resolving dan effortless, dan bermimpi bisa membuat planar driver ‘from scratch’ saat ZMF ini ditransisikan ke sebuah headphone dengan driver dynamic.  Ini cerita yang bisa kita nikmati bila kita main ke websitenya ZMF. Disitu dibilang juga bahwa setelah 6 tahun berekesperimen, dia bisa membuat sebuah konsep yang dinamakannya CAMS atau Caldera Asymmetrical Magnet Structure, serta konsep bernama Atrium Damping System. Inilah teknologi yang kini dimampatkan ke dalam ZMF Caldera.

Headphone Amplifier Cen Grand Silver Fox

Dengan ADS (Atrium Damping System) ini membuat desainer sebuah sistem headphone berakustik punya pilihan dalam mentuning tekanan dan laju udara di belakang sebuah driver headphone. Disini cancelation gelombang belakang bisa diminimalisir dan tekanan udara yang menuju telinga lebih dapat terkontrol. Sistem ini di Caldera bisa berhamoni kerjanya dengan magnet, dan membuat pendengar bisa secra dinamik terlibat dalam kesan pengalaman dengar melalui drier panar magnetic ini.

Langsung saja deh kita cobain.

Kami coba Eriko Ishihara di albumnya This Crazy Town, yang koleksi filenya BTM ini ada dalam format Aiff.  Terasa secara umum,  ini rekaman biasa saja dan tampaknya kurang bisa digunakan untuk referensi. Vokal Eriko pun digendang telinga kami terasa tak terlalu istimewa.

Hanya saja sesekali tanpa kita sadar, kita tengah diajak kian terlibat di ketukan-ketukan nada, seperti kala dia melantunkan  Shall We Dance. Kepala dibuat terangguk-angguk, seperti Ketika menikmati sambal yang terasa lirih, tetapi terasa detilnya dan di instrument piano terasa ada ayunannya. Menarik hati tentu bila kita mendengar  sebuah permainan piano dimana dengan santainya kita membayangkan bagaimana sang musisi bermain dengan membawa emosinya.

Di track ini terasa bagaimana  seorang musisi bermain dengan begitu sabar tetapi terampil. Tidak seperti banyak track di album tertentu dimana rasa-rasanya  mainnya seperti terburu buru, terlalu cepat seperti dikejar waktu. Bahkan pernah suatu kali, kami menikmati rekaman yang terbilang parah. Parahnya bukan kepada kualitas rekamnya, tetapi nuansanya, dimana sang musisi seakan mainnya rada malas-malasan, seperti bayarannya kurang, haha.

Yang sangat menarik dari album ini, ada di track They Were in Love. Benar ini membuat kami santai dan membawa kepada kenikmatan akan buaian terompet sampai pada vokalnya yang cukup mendayu tanpa terkesan cengeng. Paslah kalau yang ini digunakan sebagai reference.  Di Caldera ini, terasa keakurasian, keintiman dan rileksnya. Ya, ini adalah track yang intimate. Di sisi lain, Eriko disini terasa lepas saja. Seperti tengah berada di masa mood-nya bernyanyi.  Dan ini ditangkap oleh Caldera. Ya mungkin juga di saat itu, kami juga lagi berada di puncak mood dengar, sehingga yang ini bisa lebih ngeblend.  Entah, kadang memang pas lagu tertentu, kita lebih bisa ‘ngeblend’ di track tertentu. Menjadikan track tertentu ini jadi yang membuat intim akan rekaman.

Kadang jadi ingin melihat bagaimana headphone ini menempatkan panggung. Ada yang mengatakan rata rata pangung dalam sebuah headphone ada di bagian tengah kepala. Tetapi seorang teman kemarin bercerita bagaimana teman teman audio portabelnya mengatakan panggungnya ada di belakang kepala. Di Caldera, kami dapati soundstagenya dada di pipi. Ya didepan. Apakah ini dikatakan ideal?

Mari coba Julienne Taylor di album Live At The Lyric.  Banyak track-tracknya bukanlah lagu karyanya sendiri, seperti I Don’t Wanna Talk About it yang mengingatkan kita tentu akan Rod Stewart bareng Amy Belle. Ini lagu tentu sudah sering dibawakan artis beken. Dan di Caldera, tak banyak kami jumpai kesan yang lain.

Di album Temptation-nya Chantal Chamberland, yang banyak lagunya tentu kita sudah kenal, terasakan bagaimana Caldera  bermain lugas dan mudah dinikmati. Permainannya terasa rapi, tak terasa kusut. Petikan gitar tampil tanpa menyentak dan tidak pedas di level volume jam 10 an. Rekaman ini terasa bersih, keras dan kencang tetapi balance, punya bodi, speed, dengan kombinasi nada yang mudah masuk di hati.   Sebagian lain, terasa sulit dilukiaskan dengan kata. Hanya menyimpan sebuah harmonisasi.

Jika ingin dilukiskan dengan kata, Caldera dari ZMF ini tampil present, live dia cenderung tegas daripada mengayun. Kalau digunakan untuk memainkan rekaman yang dominan vocal, terasa hadir. Ini menarik, tinggal bagaimana kalau digunakan lama, akankah terasa membosankan , dia tak terlalu ngegrab. Untuk digunakan berlama-lama ? Nah perlu kita uji. Masalahnya kemarin judulnya kami hanya jalan jalan, jadi menguji dengarnya tidak sampai 45 menit.

 

Perangat pendukung : Headphone amplifier Cen Grand 9i-906 Silver Fox

Kabel  headphone : Verus Audio

Harga (tergantung jenis kayu) : kisaran 62 Juta Rp

 

Read Also

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *