Berawal dari satu pemikiran yang sama bahwa dunia hobi stereo audio (high end atau hifi) perlu dibuat kian meriah salah satunya adalah dengan ngumpul, dengar bareng dalam nuansa guyub – maka lahirlah ide bikin acara kumpul. Itu satu sisi pemikirannya. Di sisi lain, kala muncul pertanyaan, apa tema yang menarik agar nggreget dan banyak yang berminat berkumpul? Nah, salah satu idenya adalah ketika penggagasnya melihat bagaimana kelegendarisan speaker Rogers LS3/5A (baca : Rogers) menarik untuk diangkat lagi khususnya karena di Indonesia pun banyak yang punya.
Nah, ketemu deh. Sepakatlah para penggagas memunculkan kumpul bertema silaturahmi antar pemilik dan penikmat Rogers. Acaranya dinamakan apa? Hingga Auvindo pulang sehabis meliput pun taka da yang menyebut nama acara ini apa. Maka, kami namakan sendirilah, Kumpul Rogers Semarang (singkat saja dengan KRS). Acara di Semarang pada tanggal 13 – 14 Nopember 2025 di rumahnya Yono. Two Thumbs up untuk Yono. Tidak saja rumahnya relah dijadikan rame rame, dia juga mengguyubkan pehobi sekaligus mensponsori acara bahkan menyusun ide acaranya. Pas ini buat ketua IHEAC Semarang!
Singkat cerita, berkumpullah sekitar 20 orang. Sebagian membopong unit Rogers miliknya. Bahkan ada yang lebih dari 1 model (nomor seri). Barang boleh sama, tetapi nomor seri tentu beda beda. Dan sebagian dari mereka percaya, beda nomor seri beda suara (tak bisa 100 persen sama). Ini tentu tak berlebihan, lha wong dua model speaker model sama dari satu merk yang sama (walau tak diberi nomor seri) suaranya belum tentu sama persis. Di Rogrs apalagi, beda generasi tentu beda suara, khususnya ketika mereka ada yang punya driver, crossover dan elemen lain yang beda. Model awal disebut sebut menggunakan driver KEF asli (B110 dan T27) serta crossover BBC yang memberi sentuhan “musikal”, lain dengan model baru (tahun 2000an).
Yak, 2 hari ngumpul. Hari pertama, masa pemanasan dan uji coba, sebelum dinilai pada hari kedua. Kami dengar Rogers-nya Hendra Thio. Wah, jadi ingat, terakhir dengar Rogers adalah saat bertamu ke ruangannya Asawendo Swissrianto di Serpong dua tahun lalu. Dan kembali terulang disini, bagaimana sajian mid vokalnya yang sweet. Lovely, bisa dinikmati, walau di awal masih sedikit kaku.Maklumlah, masih perlu melakukan adegan pemanasan dan perlu waktu mungkin untuk beradaptasi dengan sistem dan ruangan ini – Ruangan persegi berukuran sekitar 6 x 5 meter yang sudah berakustik.
Itu di ruang dengar. Di ruang tamu, tak kalah menarik., bertemu dengan senior senior audio yang juga penyuka bahkan kolektor Rogers. Ada Handoko Wibowo, yang punya museum audio, dimana ada puluhan pasang Rogers, Quad dan lain lain di dalamnya. Bertemu juga dengan Tjing Tjen, penikmat yang juga pebisnis audio yang boleh dibilang termasuk generasi pertama penikmat Rogers. Keduanya termasuk kolektor. Kolektor lain sebut saja nama seperti Eddy. Mereka semua berdatangan. Untuk tahu siapa saja yang hadir, mari lihat foto di bawah ini.

Mari kita injak saja hari kedua KRS.
Setelah semua pengunjung hadir, sebagian lengkap dengan Rogersnya, speaker mereka lalu bergantian diperdengarkan, dengan satu set front end system dari Audio Note (Preamp M2 dan power amplifier P2SE, CD transport CDT Two/II dan DAC 2.1x Signature), di dukung penuh dengan kabel kabel seperti dari Hendra Tio(lupa bertanya merknya) dan juga merk Magic Audio.
Video video acara ini, kami sampaikan di bawah ini.
https://vt.tiktok.com/ZSA5aoFyD/
https://vt.tiktok.com/ZSA5atFps/
https://vt.tiktok.com/ZSA5aqcFU/
https://vt.tiktok.com/ZSA5m1GvJ/
Disini semua yang hadir melahap semua kesan rasa karakter Rogers dari aneka generasi (tahun). Dan ternyata masing masing menampilkan nuansa musiknya yang sedikit beda. Jadi tercapailah apa yang ingin diketahui hadirin, yakni melihat dari tahun ke tahun perbedaan nuansa sajian yang seperti apa dari Rogers ini. Tak heran, saat musik diputar, mereka pada tepekur, walau sesekali ada yang cuap cuap. Yak, memang walau sifatnya membandingkan suara, seperti dikatakan Yono – tujuan kumpul bukan ingin melihat siapa yang paling jagoan, karena bagi para penilai (pehobi yang diminta menilai point suara pada hari kedua), masing masing punya kelebihan. Apalagi ada factor terkait juga dengan ‘lebih matching’ mana dengan prosesor dan kabel yang digunakan.
Oh ya, setiap Rogers yang tampil tentu punya kisah menarik sendiri sendiri bila diungkap, dan itu tentu butuh waktu tersendiri. Misalnya, disini ada model Gold Badge miliknya pak Edy, ini dikatakan merupakan Rogers tertua dari yang ada di ruangan ini. Sedangkan yang termuda? Ternyata model satunya lagi yang dibawa pak Edy.

Yak, di acara ini lagu lagu yang sering kita dengar – bersliweran. Sebut saja seperti We Thank Thee dari Jim Reeves, Whats New (Linda Ronstadt),Your Love (Tammy Wynette). Bagaimana nuansanya ketika lagu ini diputar? Di satu waktu, sunyi. Di waktu lainnya, nyaris seperti ‘dipasar’. Riuh karena banyak yang saling ingin mengutarakan pendapatnya. Tak apalah, mungkin saking guyubnya. Di saat tertentu sampai kurang jelaslah, siapa berpendapat apa. Obrolannya bisa aneka rasa. Di satu sudut, orang cerita tentang bagaimana dulu perseteruan Audio Note dengan Kondo. Di sudut lain, ada yang teriak untuk memutar ulang, sementara di sisi depan mengemuka obrolan tentang matching.

Pemandangannya pun beraneka. Yang kami ingat, misalnya, tentang speaker yang memakai pola koneksi bi wire. Disini sempat dibuktikan bagaimana dengan speaker yang sama, bila colokan bi wirenya dipindah, suara akan berubah. Ada juga mengemuka, misalnya ada stand yang terbuat dari bahan besi dengan yang kayu. Yang satu lebih pas untuk penikmat mendapatkan ritme musik, high-nya yang terbuka, dan ayunannya terasa dibanding yang lain. Dengan stan ini pun, bass lebih solid. Sementara stand lainnya membuat bass kotor dan suara jadi ‘goyang’. Ah, ada ada saja ya istilahnya.
Yang kami lihat, dengan system yang sudah mapan seperti full set-nya Audio Note ini, berpasangan dengan Rogers, membuat system ini terasa sensitif. Perubahan sedikit saja pada komponen misalnya stan speaker dan kabel diganti, suaranya berubah banyak. Ini sudah kami amati kala hari pertama (pemanasan), seperti saat memakai kabel yang ada. Nah disinilah menariknya. Kabel yang digunakan bisa membuat front end system bisa mengungkap apa kelebihan yang ada di Rogers LS3/5A lintas generasi masanya, juga aneka album CD audiophile yang dipilih.

Sempat juga kami memusatkan pikiran tentang pemakaian kabel, dengan mengamati apakah kabel yang digunakan mendukung apa tidak. Tahu sama tahulah – bila salah kabel, elemen sebut saja misalnya bass, akan habis. Begitupun mid. Sempat mengamati, bagaimana di mata kami, saat melihat bagaimana kabel RCA (di DAC ke preamp) dari Magic Audio. Kabel ini yang menurut designernya – Ivan ( kebagian seksi repot jadi operator acara) bernama Ultimate Reference Advance – punya andil besar dalam menampilkan karakter sesungguhnya dari Rogers Rogers yang tampil. Kabel lainnya dari Magic Audio adalah power cord di CD player, yang bertipe Advanced seri kelas menengahnya. Kami sempat ingat, misalnya ketika powercord dan RCA digunakan, karakter Rogers semakin open dan menonjol karakternya. Vokal tebal, terasa mengayun, dengan bass yang kian deep dan terbilang punya kontrol baik. Itu pendapat sekilas kami tentang kabel Magic Audio. Sayangnya, kelupaan mengamati penggunaan kabel lainnya. Mungkin karena designernya persis ada di samping kabelnya.

Menariknya, elemen seperti kabel yang matching dengan system, bisa mengguratkan bagaimana karakter speaker. Bagi kami, Rogers LS3/5A buatan tahun-tahun awal (1970–1980) terlebih bila diputarkan lagu lagu lama, lebih terasa alami, hangat, dan lebih bisa dekat(intim), terutama pada vokal dan instrumen akustik. Sedangkan versi yang baru(2000an) cenderung ke detil, presisi dan dinamik dan lebih ke digital ketimbang model lama. Ini tentu buah driver yang digunakan juga elemen seperti crossover. Secara tampilan mid, sama sama tampil open tetapi dengan nuansa berbeda.
Secara keseluruhan sejauh pengamatan, model 15 saya sukai karena dinamikanya. Kian dikeraskan, kian terlihat. Jika kita pakai Watt besar, saya lebih suka yang versi 15 Ohm ini. Tendangannya lebih kuat. Seorang pehobi malah menyarankan, jika pakai yang 15, pakailah ampli solid state. Karena suka musik yang punya dinamika, saya lebih suka memilih ini. Tetapi 11 punya kelebihan, seperti di gemulainya dan detilnya, tetapi kesan brightnya lebih.
Wah, jika diceritakan lebih dalam lagi, acara ini banyak menyimpan cerita menarik. Akan berlembar lembar tentu ceritanya, dari aneka sudut berbeda. Sayangnya, Auvindo merasa perlu menutup saja tulisan tentang laporan dari Semarang ini. Jadi diatas adalah cerita kulitnya KRS.
Harapannya, ini akan jadi sebuah inspirasi untuk daerah daerah juga menyelenggarakan acara kumpul pehobi audio. Temanya bisa beragam, tetapi tentu perlu menarik dan bisa melibatkan animo ketertarikan pehobi untuk berkumpul.

Jangan lupa, mereka mereka ini akan berkumpul kembali di Jakarta pada tanggal 7-9 Nopember 2025 di ajang JIAVS(Jakarta International Audio Video Show) 2025 di Fairmont Jakarta. Sebagian dari mereka sudah mengkonfirmasi akan datang di pameran ini. Anda juga diundang. Pameran ini gratis dan bisa diketahui di website IHEAC, www.iheac.id.
So sampai jumpa November…