Mari beranjangsana Kembali ke rumah Suhardi yang punya ruang khusus home cinema karyanya sendiri. Kali ini Auvindo mengajak Sie Kek Chung(SKC), penata suara cinema Flix Theater. Jadi, kali ini bertemulah seorang pembuat home cinema dengan seorang penata suara cinema. Tak heran obrolannya seru.. Saling sharing pengalaman masing-masing, kadang berargumen kecil, kadang saling tukar tanya. Dan di tengah pertemuan itu, Suhardi mengajak nobar di ruang theatrenya. Sempat kami rekam juga seperti video di bawah ini.
Saat nobar, SKC selalu duduk di kursi sweet spot, persis di depan kami. Ruangan ini memiliki dua baris seat yang terbilang empuk. Sementara Suhardi memutarkan beberapa album Bluray 4K, yang umumnya berupa music live – yang dikatakan Suhardi sekedar untuk melihat bagaimana tampilan suaranya. Di ‘edisi’ pembarep, tampil Eric Clapton di tembang River of Tears dari album The Lady in The Balcony:- Lockdown Sessions. Menampilkan permainan gitar plus vocal ditemani Chris Stainton di kibor, Nathan East di bass dan vocal, serta drummer Steve Gadd. Sekedar info, rekaman tahun 2021 ini dibuat oleh Bushbranch Productions Ltd., dengan lisensi eklusif untuk Mercury Studios Media Limited, sebuah perusahaan grupnya Universal Music.
Coba anda cari rekamannya,(klik link ini : https://www.youtube.com/watch?v=z_I5GugQKHY ) dan rasakan bagaimana Eric bernyani dengan membawa serta emosinya dan larut dengan apa yang dibawakannya. Bisa saja anda menangis dibuatnya. Bahkan gitarnya serasa ikut menangis.. Sebuah ungkapan kesedihan, yang kian terlihat dengan petikan gitarnya.
Sistemnya mampu mendokumentasikan kesan rasa ini, seperti ikut emosi sendiri.Selain petikan gitar, ada bass guitarnya Nathan East ikut menemani. Gitar tersaji terasa bersih, tegas.
Di track kedua Eric, “Bad Boy” lebih didominasi permainan keyboard dan gitar. Tetapi bass yang tersimak di seat belakang sweet spot kami ini terasa lebih tebal dari yang pertama tadi. Kadang bass ini terasa sedikit liar- tak terkontrol.Kami merasakan ruang bergetar di panel depan kiri. Ini tentu karena vibrasi yang bagi ruang ini terlalu berat. SKC mengistilahkan ini dengan ruangan yang ikut bernyanyi.
Session pertama selesai, dan SKC merasakan system ini condong permainannya lebih ke rapi dan kontrol. Dikomen demikian, Suhardi terus antusias memutarkan, dan kemudian yang khas darinya. Setiap memutarkan satu track, terdengar dia mengatakan ‘satu lagi ya pak’. Semangat menyajikan, bikin semangat juga menyimaknya.
Saat memutar album livenya Metalica dan Santana live, bass terasa jinak. Diputar kencang, tidak terasa boomy apalagi sampai menutupi area frekuensi lain. Di tracknya Santana, kami merasakan bagaimana system ini seperti effortless dalam bermain kencang. Terasa sistemnya bermain sigap. Tak ketingggalan Langkah apalagi terasa ngos-ngosan.
Jadi(kami ulang), inilah pendapat SKC, detil, rapi. punya layer-layernya. Tak ada suara yang menurutnya yang terasa salah di telinga. Tetapi dia menggarisbawahi bahwa album dan tracknya Eric ini belum pernah dia dengar sebelumnya. Jadi dia belum terlalu lebih jauh berani berkomentar karena tidak bisa melihat pembandingnya. Tetapi secara umum, untuk penyajian kelebaran suara, dikatakannya tersimak baik. Bassnya bersih.
Menarik mencermati makna kata ‘rapi’ ini. Seperti apakah rupa suara yang rapi itu? Bila di stereo, penulis condong memaknainya dengan ‘plus minus’. Plusnya, suara tertata baik. Membuat kita bisa lebih mudah ‘melihat’ posisi pemain, kenaturalan suaranya yakni memang suara aslinya instrument ya memang demikian. Imagingnya terasakan jelas. Bisa juga bermakna, bermain aman dimana beberapa kriteria panggungnya sudah ditangan. Minusnya, ungkapan ini kesannya kadang seperti mirip dengan makna sopan atau ‘polite’. Karena bermain aman, seperti bila kita meracik makanan, kurang berani bermain bumbu. Rasanya bisa terkesan flat, terasa menjemukan, karena dinamika yang jarang tampil, seperti kurang tampil letupan-letupan kedinamikaan. Ini pendapat penulis, yang hampir pasti beda dengan anda memaknai kata ‘rapi’ ini.
SKC lalu mengutarakan bagaimana dia ingin tahu lebih jauh bagaimana impact bass, juga kesan dengar efek suara, serta vokal atau dialog, dan sempat menanyakan terkait point ini – apakah Suhardi punya film The Greatest Showman(ternyata Suhardi belum punya), lalu Bohemian Rhapsody, dan film Dune. Dua film terakhir tersebut ada di koleksi Suhardi. Tetapi Suhardi kemudian ingin memutarkan dahulu rekaman livenya Santana, sebuah rekaman yang dikatakannya rekaman lama dan rumit.
Sebelum kedatangan kami, Suhardi tentu sudah merencanakan apa saja yang akan diputar, bagaimana urutan putarnya, dan tentu ada alasan mengapa memilihnya – adalah karena track tersebut dianggapnya merepresentasikan kebolehan sistemnya, dan tentu saja dia perlu dapat masukan dari orang lain, kalau baginya di track tersebut tampil baik, bagaimana pendapat orang. Ini juga yang membuatnya semangat mengundang. Auvindo berencana mengajak ajak satu satu para penikmat audio dan film lainnya suatu hari nanti.
Track live Santana ini memang terhitung rumit. Sebuah tontonan permainan cepat di suaranya, dan melibatkan banyak instrument. Bagaimana agar aneka instrument cepat tadi tidak terasa ngos-ngosan, kedodoran sambil bersinergi menciptakan sebuah harmoni, dan tidak saling menutupi – tentu jadi sebuah tantangan tersendiri. Bila rekaman rumit ini saja sudah tampil baik, rekaman lain tentu akan tersimak baik. Dan ternyata system ini sanggup memainkannya dengan harmoni, tanpa terkesan over atau tipis. Kaya akan dinamika.
Inilah karya Suhardi yang DIYer itu. Dari dahulu dia memang senang ngoprek dan suka tertantang untuk membuat sendiri. Hobinya bahkan dimulai dari membuat perangkat stereo mulai dari power dan lain lain, yang umumnya tabung. Saat membuat home theatre sendiri, dia racik speakernya sendiri untuk dia pakai sendiri. Begitu pun subwoofernya. Jadi dia tidak pakaikan merk tertentu. Untuk yang bermerk, ada di player(media player) merk Evolution. Lalu prosesornya yang Yamaha. Untuk AVR ini, dia punya tiga AVR Yamaha yang datang dari tiga gnerasi berbeda. So far, dengan menyimak tampilan suaranya, untuk sebuah system DIY, system ini bukanlah system kaleng kaleng. KC pun mengakui demikian.
Mari lanjut. Setelah Santana ganti Metalica, kemudian Queen dari film Freddy Mercury. Di film tentang Freddy Mercury, ada scene dimana Brian May ingin Freddy membawakan lagu yang menggelorakan semangat penontonnya. Tampillah We Wil Rock You. Nikmat sekali mendengar kaki penonton yang berderap berkali kali, mengetukkan kakinya ke lantai tempat mereka berdiri sesuai lagu ini(anda tentu hafal lagu ini). Bass terasa padat. Kesan berlanjut di live show Live Aid dimana freddy membawakan Hammer to Fall, Bohemian Rhapsody lalu Radio Gaga. . Jujur ini salah satu scene ternikmat kala itu. Jadi ingin lagi memutar film ini di rumah nanti.
SKC di session ini tak banyak berkomentar, hanya mengatakan bahwa untuk sebuah home theater bikinan sendiri atau DIY, ini sudah terhitung bagus.
Giliran memutar salah satu scene film Dune 1 yang banyak menggunakan efek suara. Untuk yang ini, SKC tentu hafal betul bagaimana suaranya bila di bioskop Flix Cinema, karena memang dia yang mensetting suaranya di bioskop ini. Di track dimana Paul Atreides berhasil menjinakan sand worm terasa efek surround, bass, dialog yang jelas. Kita diajak menikmati suara mesin penggebuk pasir yang dapat membangunkan sand worm untuk kemudian menghampiri posisinya, terasa bass yang deep. Kesan rasanya ‘dug dug’nya mengingatkan akan lagu We Will Rock You tadi. Mengekspose bass dan low bass sekali. Seberapa kejelasan dan definisi sebuah bass yang ditampilkan sistem juga terlihat disini.
Suhardi lalu mengajak merasakan bagaimana excitementnya menikmati Dolby Atmos dengan memutar film King Kong. Lalu, film dokumenter The Orient Express, nama sebuah kereta api yang membuat cerita tersendiri. Cukup terkesan akan suara mesin kereta yang sarat akan suara peluit, mesin dan suara dari cerobong asap. Demikianlah, apa yang diputar memang memperlihatkan beberapa kelebihan system, seperti bassnya yang exciting, control dan lain lain.
SKC kemudian mengungkapkan merasa ada yang sedikit kurang di wilayah mid, kemungkinan karena kekurangannya di driver 6 atau 8 inch. Menurutnya, jika ditambahkan satu wofoer yang bermain di wilayah mid, suaranya akan lebih lengkap lagi dan pronounce-nya juga lebih baik.
Jadi main di 3 way? Ya inilah saran SKC setelah melihat bahwa akan lebih baik jika memakai speaker 3 way. Ini juga setelah melihat semua cinema kini memakai speaker 3 way. SKC belum tahu persisnya bagaimana kualitas driver yang kini dipakai di speaker speakernya Suhardi ini. Tetapi dia yakin jika memakai 3 way maka kualitas kerjanya di frekuensi high akan lebih detil. Pindah ke jalur 3 way tentu saja perlu waktu yang bisa saja tidak sebentar.
SKC juga menyarankan untuk Suhardi memakai DSP saja, sehingga tak perlu crossover, dan bermain aktif di speakernya. Ini demi mendapatkan efek yang lebih melibatkan penonton.
SKC akhirnya menutup pendapatnya dengan mengatakan sistem DIY seperti Suhardi ini punya suara yang menurutnya sudah di atas rata-rata kepunyaan banyak orang pada umumnya. Level mainnya sudah terbilang tinggi.
Apa minusnya? Ditanya demikian, SKC hanya mengulang lagi pendapatnya tadi yang mengatakan akan lebih baik bila bisa bermain 3 way ditambah 1 midbass di tengah sehingga frekuensi lownya dari 15 inci itu tidak bermain di rentang yang terlalu jauh sehingga “narik” nya tidak sulit. Begitu juga dengan tweeter, titik cuttingnya itu tidak terlalu jauh, “ Bila pasang 3 way sudah tentu akan lebih bagus lagi”kata SKC.
Dari suguhan ini, kami mengapresiasi apa yang dilakukan Suhardi dalam membuat bioskop dan terkagum kagum juga dengan kualitas suara speaker DIY buatan sendirinya. Juga salut akan kemauannya mengerjakan sendiri sebuah ruangan termasuk instalasi box subwoofer,walaupun untuk plafon dia harus dibantu tukang. Dan sekali lagi, kesan suaranya bukan ‘kaleng-kaleng’.