(Inspirasi dari diskusi “Audisi Koherensi untuk Mendapatkan Reproduksi Holografik”)
Tiga kata ini, natural, holografik dan koheren, tak jarang kita dengar bahkan kita ucapkan saat menilai kualitas tampilan suara sebuah sound system. Tiga kata ini muncul di awal obrolan diskusi yang dibawakan oleh Handy Wijaya dan Hardy Nanda dan dimoderatori Slamet Adijuwono, saat mereka berdiskusi bertajuk “Audisi Koherensi untuk Mendapatkan Reproduksi Holografik”. Temanya memang sedikit rumit, tetapi sebenarnya asyik disimak, apalagi di tengah arena IHEAC Audio Video Show 2023, di Fairmont Jakarta, tempat seminar ini digelar. Nah, dalam perjalanan diskusi ini, tajuk di atas pun sempat melebar, menyinggung hal-hal lain yang memang dekat dengan tema tersebut. Sebut saja salah satunya, yakni tentang kealamiahan(kenaturalan) reproduksi suara.
Holografik diartikan Handy sebagai reproduksi suara dari sebuah sound system yang dapat menampilkan soundstaging spatial. Sebuah reproduksi holografik dapat memberi gambaran kepada penikmat musik, bagaimana posisi vokalis, backing vocal juga sederet instrumen yang ada. Panggung reproduksi suara terkesan tertata secara spatial dan kita sebagai pendengar bisa merasakan mana instrumen yang paling dekat dan yang paling jauh, apakah posisinya di kiri atau kanan atau tengah dari kita misalnya.
Menariknya, di mana tepatnya persepsi posisi sumber suara yang kita dengar ini, tergantung kepada bagaimana maunya sang sound engineer. Kalau demikian, kealamiahan suara itu dibuat-buat dong ya. Nah, ini mengingatkan kami kembali akan pendapat seorang audiophile yang juga pernah jadi sound engineer. Dia bilang, kebanyakan rekaman itu spatialnya dibuat, bukan direkam secara natural, karena semua sudah ‘dibikin’. Jadi, dia hanya mentertawakan saja mungkin dalam hati, bila ada temannya mengatakan suara sistemnya anu itu natural. Menilik hal di atas juga, ini artinya holografik juga bisa direkayasa
Holografik dan koherensi
Bicara holografik bisa juga tentang kepresisian dan koherensi. Disini Handy menjabarkan bahwa sinyal koheren adalah sinyal mono yang direproduksi oleh speaker kiri dan kanan secara identic – baik di level maupun fasanya, saat rekaman mono ini diplayback di sebuah sistem. Identik baru bisa didapatkan jika semua (nilai) komponen elektronik channel kiri dan kanan benar-benar sama. Kian identik, akan semakin koherenlah suara, dan kita akan mudah mendapatkan kesan suara holografik jika rekaman stereo dimainkan. Pada praktiknya sulit sekali untuk mendapatkan komponen yang benar benar identik antara channel kiri dan kanan, sebab syarat ini berkorelasi dengan harga perangkat. Nah inilah yang menyebabkan perangkat pre amp atau amplifier bisa berharga ratusan juta bahkan milyaran, untuk mengejar nilai komponen yang identik antara channel kiri dan kanan.
Handy dan Hardy percaya bahwa holografik atau soundstaging itu diciptakan oleh sound engineer. Saat melakukan mixing, dia memakai software yang bisa mengatur mana yang di depan, mana yang dibelakang, mana lebih kiri dan mana lebih kanan. Software ini dapat memanipulasi sinyal kiri dan kanan agar kita sebagai manusia memiliki persepsi bahwa suara datang dari titik dan arah tertentu darinya.
Namanya juga dibuat, maka sang engineer bisa saja meletakkan piano agar terdengar seolah dari kiri misalnya, padahal kenyataannya saat direkam posisi piano berada di sebelah kanan microphone. Ya, kesan arah suara rekaman itu sesungguhnya tidak ditentukan oleh posisi sesungguhnya si sumber suara itu, karena pada akhirnya ditentukan oleh perbedaan suara yang diterima oleh telinga kiri dan kanan. Lalu telinga melakukan perbandingan. Setelah itu dikirim ke otak kita, lalu otaklah yang menterjemahkan arah dan jarak suara yang kita persepsi.
Multi mic vs Stereo Mic
Tetapi syukurlah, tidak semua rekaman dibuat dengan hasil suara yang terkesan kealamiahannya dibuat. Masih ada banyak juga rekaman bagus yang dibuat dengan baik dan mengedepankan kenaturalan suara yang memang benar benar natural. Ini banyak dilakukan dengan hanya memakai 2 mikrofon atau sering disebut “direct stereophonic recording”. Beda dengan proses perekaman dengan banyak mic(sistem tracking), dimana di setiap sumber suara (mulai dari vokal, hingga setiap instrument) diberi mic, dan jelas jelas untuk membuat holografik dengan bantuan software.
Menurut Hardy Nanda, dengan hanya 2 mic, kita perlu cermat menentukan posisi yang tepat untuk kedua mic ini. Selama mendisainnya benar atau proper, hasilnya bisa terasa alami termasuk sasat direkam di sebuah auditorium besar misalnya. Karena dilakukan dengan baik, dan sistem reproduksinya juga benar, maka kita bisa mendengar kesan suara seperti nyata di dalam sebuah auditorium itu, atau di tempat mana pun sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam cover rekaman. Dengan dua mic ini, engineer berusaka mendapatkan frekuensinya, juga merekam efek ruangannya, dimana perlu didapatkan informasinya dengan sangat baik.
Bagaimana bedanya dengan multi mic?
Di multi mic, kita meletakkan mic di setiap instrumen, lalu diolah dengan software. Untuk mendapatkan efek ruangannya bisa lebih sulit dan harus sangat teliti sekali. Maka, banyak juga yang demi untuk mendapatkan efek akustik ruangan, lebih memilih merekam dengan 2 mic. Tetapi jika mau mendapatkan yang detail, tentu saja semua sumber perlu dikasih mic, dan kita perlu mengatur soal jarak, staging dan lain lain dengan software.
Hardy, yang sudah kenyang selama 17 tahun bekerja di studio, ini sempat bercerita bagaimana dia mendisain spatial, yang benar benar dihitung manual.
“Jadi saya harus mendelay gelombang suaranyanya. Jika saya delay sinyal kiri terhadap kanan sepersekian milisecond, maka akan didapatkan kesan lebar (suara) tertentu. Kalau kita dengar suara piano, kesannya dimensi suara yang kita dengar harus kurang lebih sebesar piano asli, jangan kesannya piano sebesar truk tronton. Tetapi kalau vokal, mulut penyanyi kan kecil. Maka harus didesain serius, benar benar manual. Main geser geser fasa atau delaynya ”kata Hardy, sambil mengatakan betapa bebas dia memilih kesan arah suara instrumen, misalnya piano. Jika dia letakkan di kiri, berarti kanannya harus dikecilkan. Begitu juga untuk membentuk layer-layer rekaman, dia mainkan amplitudonya..
“Untuk memunculkan kesan layernya, maka amplitudonya yang saya atur. Ini memang by design semuanya., termasuk instrumen lain, baik piano, drum, gitar, vokalis” kata Hardy.
Inilah inspirasi yang muncul ketika Auvindo mendengar sekitar 10 menitan obrolan dari mereka bertiga. Jadi, jika anda percaya dan setuju ungkapan dua pembicara ini, maka kita perlu lebih jeli lagi, mana suara alami yang memang benar benar alami, atau alami yang direkayasa. Patut diduga, kalau melihat keterangan di covernya seperti menjelaskan bahwa rekaman ini dilakukan dengan 2 mic, maka bawaan natural yang alami, bisa lebih dijamin. Asalkan sistem juga mampu merepro dengan baik, setting dan keakustikan ruang mendukung dan tentu saja akhirnya, telinga kita mampu menangkapnya.
–Video talkshow ini bisa anda ikuti di link channel YouTube-nya IHEAC : https://youtu.be/tWufUfYTFoA