Bila Suhardi Membuat Sendiri Cinema (1)

Comment
X
Share
Share with your friends

Dalam dunia hobi audio dan home theatre ada juga orang langkanya. Walau jumlahnya langka, mereka ada. Salah satunya kami temui di kawasan perumahan Jakarta Garden City. Pria berusia sekitar 40-an tahun ini awalnya  adalah pehobi stereo yang juga suka ngoprek, try error  dan membuat sendiri perangkat seperti amplifier tabung, memadukannya dengan sistem branded. Ini unik? Tentu  saja tidak.

Keunikan baru muncul saat suatu kali dia  ingin memiliki home cinema. Tidak seperti kebanyakan yang tinggal pilih lalu beli alat, pasang, setting, dengar. Tidak juga seperti mereka yang  tinggal mikir ruangan seperti apa lalu sewa perancangnya.

Dia tidak begitu. Terpikirnya, ingin buat saja sendiri. Mengapa tidak? Semangat ada, waktu ada, ruangan ada, perkakas membuatnya ada dan tinggal melengkapi. Tempat belajar atau sumber panduan? ada dari YouTube, forum di internet seperti AVSforum. Dan  tentu saja bakat juga ada. Ya bakat menggergaji kayu, mengukur, potong potong, dan lain lain.

Cerita singkatnya. Jadilah ruangan itu.  Sudah jadi. Speaker plus ruangannya, baik interior maupun akustiknya.  Lalu, siapa dong yang dijadikan penilai yang jujur apa adanya?  Gampang. Sang istri.  Kebetulan dia adalah penikmat musik, dan dikatakannya punya telinga kritis. Dapat menikmati keindahan sebuah suara musik, dan dapat membedakan suara serta menangkap perubahan suara. Lengkap sudah.

Kenalkan, Suhardi.  Pria yang cukup banyak cerita bila kita tanyakan tentang ‘membuat home cinema sendiri. Ya sendiri, dalam artian tidak dengan siapa siapa. Sama tukang pun tidak, kecuali saat memasang plafon (ya maklumlah kan tidak mungkin pasang sendiri, perlu ada yang membantu pegang dan lain lain).

Kita tampilkan saja dahulu dia dalam alat pelindung udara setelah memotong kayu dengan potongnnya seperti di bawah ini. Jangankan melakukan pekerjaan ‘layaknya’ tukang, bikin foto pun dia lakukan sendiri, seperti foto ini.

Kami pernah bertandang ke ruang ini pada bulan Agustus 2016 lalu, dan menurunkan liputannya di majalah audio printed saat itu, Audio Video & Lifestyle. Saat itu sofanya memanjang dan satu baris.

Kami datang kembali ke ruangan ini pada 7 Agustus 2024 lalu, dan menjumpai ruangan ini sudah memakai sofa dua baris. Perubahan lain, bila dahulu memakai satu proyektor Epson LS 10000, kini memakai juga proyektor JVC RS 3100 alias JVC NZ8.  Karena memakai Epson ini, PT Epson Indonesia lalu membuat sebuah video yang kami lihat di YouTube, yang memang merupakan video promosi, seperti di link di bawah ini.

Dua proyektor buat apa?  Rupanya yang JVC yang memang model super high end, digunakan untuk menonton film, sedangkan yang Epson, bila sang istri ingin berkaraoke.

Proyektor 4K Enhancement Epson (atas) dan true 4K JVC (bawah)

Di foto yang dia perlihatkan saat membangun ruang dan lalu mengubah ruangan,  tak kami lihat tukang  atau teman lain yang membantunya. “Saya bikin home theatre sendiri. Jadi tukang, ketok ketok – segala macam. Hanya plafon saja yang bukan saya”katanya sambil memperlihatkan foto yang memperlihatkan bentuk potongan kayu.   Memperlihatkan asal muasalnya, seperti kami tampilkan juga di halaman ini.

Selain ruangan, Suhardi juga bersibuk diri dalam membuat sendiri sistemnya. Dia akui sistem ini bukanlah barang mahal(kecuali tentu proyektor JVC-nya ya). Barang mahal memang sudah pasti suaranya juga mahal. Tetapi bila settingannya benar. Ini juga dipercayainya. Dia pikir, untuk kualitas suara dan gambar yang baik, bukan soal harga yang utama, melainkan soal matching. Pendapat ini berpulang dari pengalamannya dahulu  saat memiliki sistem mahal tetapi dia jumpai suaranya tidak sebagus yang dia harapkan.  Ternyata karena sistemnya tidak sinergi/matching tadi sedangkan yang biasa matching. Dari sinilah terbuka wawasannya tentang keutamaan sinergi. Inilah jantungnya suara.

“Contohnya, pre amp warm, speaker warm, kabel warm, maka yang terjadi over warm”. Katanya.

 

Inilah yang dia pelajari kala main audio, termasuk saat membuat power amp tabung. Sampai kini, dia menjunjung tinggi yang namanya sinergi sistem ini. Dan bersyukurlah dia, karena dengan memiliki konsep ini, singkatnya – kini apa yang dia dengar sudah sesuai dengan selera dan dia bersyukur beberapa teman yang dia undang ke ruangannya punya kesan baik.

Saat main audio, Suhardi mencoba memasukkan juga home theater. Ternyata tampilnya tidak maksimal

Ini adalah ruang theatre, dan bukan musik (stereo) walau dia suka dengar musik video disini. Ruangan ini sudah berpakaian Dolby Atmos, kami ketahui dari 4 speaker height channel di ceiling.

Perubahan lainnya,  ada di proyektor dan speaker.  Bila dahulu speaker surround yang dia pakai ukurannya kecil.  Kini semuanya dia ganti dengan yang besar – 12 inch.  Rasa sinematiknya beda jauh. Kini terasa lebih hidup. khuusnya film-film konser. Untuk layar, dia memakai layar 152 inci  dengan format anamorphic  2.35:1 micro perforated merk Severtson 1.3 gain.

Speaker di balik layar di ruangan terdahulu

Subwoofer pun dia ganti. Dari yang dahulu memakai 2 subwoofer berwoofer 18 inch. Sebuah subwoofer  konus bulat Dayton Reference 18.  Kini dia tambah subwoofernya jadi 4 buah dan memakai driver Lavoce 18. Salah duanya ditaruh di belakang layar.  Gambarannya kami sajikan di foto ini.

Speaker dan subwoofer depan kini, plus speaker karaoke.

Efek menambah subwoofer, tentu saja bassnya jadi kian tight, pukulannya kian punya efek, tetapi menariknya, tetap tampil alami dan akurat. Inilah buah kombinasi antara pro subwoofer dan konus bulat. Hasilnya, beda sekali dengan kesan suara di ruangan awal. Maklum saja speaker pro speednya sangat cepat. Hanya saja untuk musik yang berkesan mengayun dan mellow, dia terasa terlalu tegas. Maklumlah karakter speaker pro.

 

Inilah cerita awal tentang Suhardi yang berkreasi di home theaternya.  Kita akan menengok lagi ruangannya Suhardi di artikel berikut.

Read Also

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *